Feed on
Posts
Comments

Sebenarnya netizen (pengguna internet) indonesia sudah berulang kali kecewa dengan keputusan lembaga kementrian yang satu ini. Berulang kali juga para pengguna maupun praktisi internet harus disibukkan menuliskan di blog atau social media tentang ketidaksetujuan mereka dengan pemblokiran tersebut.  Penulis sendiri pernah menuliskan disini , terkait pemblokiran yang dilakukan terhadap Youtube waktu itu, meskipun beberapa saat kemudian akhirnya dibuka kembali. Kemkominfo melalui tim Trust+ kali ini memutuskan memasukkan domain vimeo.com sebagai salah satu domain yang harus diblokir disetiap ISP di Indonesia. Sejak tanggal 9 Mei 2014, file daftar  domain yang diblokir di update oleh Tim Trust+ Kominfo, dan setiap ISP harus mengikuti melakukan pemblokiran pada setiap domain yang terdapat pada daftar tersebut. Vimeo merupakan layanan unggah video mirip seperti youtube, yang dapat dinikmati secara gratis maupun berbayar oleh netizen diseluruh dunia. Vimeo secara umum merupakan gudang video pembelajaran fotografi professional, movie maker, animasi, pemanfaatan dan pengembangan berbagai jenis technology, music dll. Terdapat sangat banyak sekali panduan panduan praktis yang dapat diikuti para pengguna internet.

Yang dipertanyakan oleh banyak netizen adalah standard kerja atau prosedur tim Trust+ untuk menetapkan sebuah domain dianggap mengandung pornografi sehingga harus diblokir atau tidak. Dalam penjelasan pada Siaran Pers Tentang PENANGANAN VIMEO.COM oleh kominfo  dijelaskan bahwa :
Pada vimeo.com ditemukan kategori-kategori atau channel-channel yang didalamnya berisi video pornografi, antara lain:

  •  “Art of Nakedness” berisi 6.195 video,
  •  “Beautiful of Nakedness” berisi 1.186 video,
  •  “Nudie Cutie” berisi 7.172 video,
  •  dan lain sebagainya.

Kemudian dikaitkan dengan UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang? Pornografi khususnya Pasal 4 yang intinya adanya larangan menyajikan pornografi dengan menggaris bawahi bagian “ketelanjangan” yang memang terpenuhi pada video pada situs vimeo tersebut, meskipun saya yakin mungkin masih ada yang bisa memperdebatkannya.

Nah, sampai sini memang sepertinya keputusan kemkominfo masih sah sah saja dimata hukum, karena memang membacanya dengan menggunakan kaca mata kuda.
Yang jadi masalah ketika netizen (pengguna Internet) membandingkan dengan dengan situs-situs lain (mungkin lebih terkenal atau sudah menjadi bagian dari mayoritas netizen) yang sejenis.  Situs situs tersebut adalah youtube.com, facebook.com, twitter.com dan google.com.

Jika dilihat dari segi banyaknya content pornography yang ada di setiap situs-situs tersebut, bisa diurutkan secara garis besar, dengan menggunakan kata kunci sederhana yang sama melalui situs google untuk pencarian content pornografi (baik video maupun gambar), diperoleh hasil :

1. Youtube menghasilkan sekitar 14,4 juta links (konten)

2. Facebook menghasilkan sekitar 1,7 juta links (konten)

3. Twitter menghasilkan 76rb  links (konten)

4. Vimeo menghasilkan 6,6rb links (konten)

5. Google, saya contohkan saja untuk google images (saya tidak perlu menampilkan capturenya, silahkan dicoba sendiri dengan menklik url dibawah)

https://www.google.com/search?q=porn+sex

Jika diurutkan dari hasil pencarian tersebut, harusnya prioritas pemblokiran dilakukan pada Youtube, Facebook, Twitter dan google terlebih dahulu. Karena jelas-jelas mengandung konten pornography lebih banyak, dan tidak hanya memenuhi unsur “ketelanjangan” seperti vimeo, tetapi sudah memenuhi hampir setiap  unsur yang dianggap pornography pada pasal 4  UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang?Pornografi tersebut.

Tetapi mengapa yang terjadi malah berbeda, sehingga para netizen mempertanyakan kemungkinan “pilih kasih” dalam kasus pemblokiran situs situs tersebut. Sampai saat ini hanya tim Trust+ dan Menkominfo yang tahu jawabnya.

Semoga diakhir jabatannya para petinggi di kemkominfo dapat menyadari  kekeliruan dalam menentukan prioritas penanganan pornography yang terjadi di Indonesia.

Menurut penulis pribadi, kemenkominfo akan lebih bermanfaat jika memprioritaskan kegiatannya dalam melakukan sosialisasi internet sehat khususnya di sekolah sekolah, perkantoran maupun level keluarga, dibanding dengan melakukan pemaksaan pemblokiran-pemblokiran di level NAP/ISP yang lebih banyak membuat polemik dan merugikan lebih banyak pihak.

Sebenarnya, dari segi technology, sudah jelas dipastikan tidak ada yang mampu melakukan pemblokiran akses pornography di Internet.  Semua teknologi pemblokiran yang ada dengan mudah di bypass oleh pengguna yang sedikit melek internet, apalagi para engineer atau professional TI. Justru jika dipaksakan ingin melakukan pemblokiran terutama di level jaringan yang relative besar seperti ISP yang kepentingan penggunanya sangat beragam , yang terjadi adalah melambatnya akses internet. Ini akibat proses filtering yang dilakukan setiap teknologi pemblokiran yang ada saat ini. Filtering konten internet secara umum bekerja dengan membandingkan dengan daftar situs yang diblokir. Saat ini daftar situs yang ada pada list domain ataupun url yang ada di situs Trust+ hanya sebagian  kecil (tidak lebih dari 10%) dari situs pornography di internet. Dan situs tersebut juga selalu mengalami perkembangan dan perubahan (domain/url dst), yang tidak mungkin dapat diikuti oleh tim seperti Trust+ atau Kemkominfo. Hal inilah yang mengakibatkan tidak ada satupun teknologi yang bisa melakukan pemblokiran secara sempurna. Apalagi melihat kondisi akses Internet di Indonesia saat ini, terhubung internet melalui gerbang internet (NAP dan ISP) yang sangat beragam.
Pemaksaan pemblokiran dilevel jaringan besar spt NAP atau ISP, hanya merugikan pengguna saja. Akan lebih mudah jika pemblokiran dilakukan dijaringan jaringan yang lebih kecil, mulai dari sekolah, perkantoran bahkan keluarga dengan memanfaatkan aplikasi aplikasi parental control.  Target utama pemblokiran bukanlah untuk orang dewasa, melainkan anak anak yang memang masih butuh kontrol dari para orang tua dan lingkungan mereka.

Leave a Reply